INI ALASAN KONSUMSI GULA YANG TINGGI DAPAT MENINGKATKAN RISIKO DEPRESI

INI ALASAN KONSUMSI GULA YANG TINGGI DAPAT MENINGKATKAN RISIKO DEPRESI

Banyak penelitian menunjukkan kaitan asupan tinggi gula dengan depresi. Ada beberapa alasan yang membuat pola makan tinggi gula tambahan dan karboidrat olahan dapat memicu depresi.

Dunialansia.com – Sahabat Lansia, banyak penelitian menunjukkan kaitan gula dengan depresi. Konsumsi gula yang tinggi dapat meningkatkan risiko kesehatan mental, seperti depresi. Mengapa konsumsi gula yang tinggi dapat meningkatkan risiko depresi?

Ada beberapa alasan yang membuat pola makan tinggi gula tambahan dan karbohidrat olahan dapat memicu depresi, mencakup satu atau lebih faktor berikut.

# Kadar gula darah tidak stabil.

Makanan utuh, seperti buah-buahan dan sayuran, mengandung serat yang memperlambat penyerapan dan menjaga kadar gula darah tetap stabil.

Sebaliknya, makanan olahan, seperti permen, minuman manis, dan karbohidrat olahan, memiliki indeks glikemik (GI) yang tinggi, sehingga tubuh segera menyerapnya dan meningkatkan kadar glukosa (gula darah).

Sebuah penelitian besar mengamati hubungan antara depresi, GI makanan, dan ukuran karbohidrat lainnya (seperti gula tambahan dan total gula) pada sekitar 70.000 wanita pascamenopause di Amerika Serikat. Wanita yang sebelumnya didiagnosis menderita depresi tidak diikutsertakan dalam penelitian ini.

Studi tersebut menemukan, wanita yang mengonsumsi makanan tinggi glikemik, seperti biji-bijian olahan dan gula tambahan (gula yang tidak ditemukan secara alami dalam makanan utuh), memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi. Sebaliknya, mereka yang mengonsumsi lebih banyak serat, produk susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran memiliki peluang lebih rendah terkena depresi.

Baca Juga: Konsumsi Gula Yang Tinggi Meningkatkan Risiko Banyak Penyakit Kronis

# Defisiensi nutrisi.          

Makanan utuh mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan untuk mencernanya. Ketika orang mengonsumsi makanan olahan (tanpa nutrisi), tubuh harus mengambil vitamin dan mineral dari tempat lain.

Rendahnya tingkat nutrisi, seperti vitamin D, folat, B12, asam lemak omega-3, dan beberapa mineral, dikaitkan dengan depresi.

Selain itu, penelitian yang diterbitkan pada 2016 menunjukkan, pola makan olahan menyebabkan rendahnya energi dan lebih banyak rasa lapar. Hal ini memicu makan berlebihan dan pada gilirannya menyebabkan obesitas. Obesitas dan depresi juga mempunyai hubungan yang kuat.

# Kesehatan usus yang buruk.

Fungsi usus yang sehat sangat penting untuk menghasilkan hormon dan neurotransmiter, seperti dopamin dan serotonin.

Pola makan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan usus. Pola makan tinggi gula dapat menyebabkan ketidakseimbangan bakteri usus.

Studi menunjukkan, ketidakseimbangan mikrobioma dan peradangan usus mungkin terkait dengan beberapa penyakit mental, termasuk depresi dan kecemasan.

# BDNF rendah.

BDNF (brain-derived neurotrophic factor) merupakan protein yang berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan sel-sel otak.

Penelitian menunjukkan, diet tinggi gula mengurangi produksi protein ini dan BDNF yang rendah sering terlihat pada penderita depresi.

Antidepresan membantu mengatur ekspresi BDNF, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

# Peradangan sistemik.

Salah satu hubungan utama antara gula dan depresi adalah peradangan sistemik. Satu studi melihat secara khusus pada gula makanan tambahan dan menemukan, peradangan sistemik yang meningkat merupakan pemicu fisiologis yang kuat dari depresi.

Peradangan juga berhubungan dengan gejala depresi lainnya, seperti perubahan nafsu makan, kurang tidur, dan kelelahan. Studi tersebut juga meneliti potensi peradangan di otak dan menemukan, konsumsi gula yang berlebihan dapat memengaruhi sistem reward.

Beberapa penelitian juga telah mengaitkan gula tambahan dengan peradangan kronis.  Orang yang mengonsumsi makanan tinggi gula lebih mungkin mengalami peradangan kronis, yang menurut penelitian terkait dengan depresi.

Peradangan kronis adalah bentuk peradangan tingkat rendah yang berlangsung lama. Ini berbeda dari peradangan akut—kemerahan, nyeri, dan bengkak yang terjadi ketika mengalami luka bakar, misalnya.

Orang mungkin tidak akan tahu bahwa dirinya menderita peradangan kronis. Namun, tubuhnya mungkin berpikir ia terus-menerus diserang, sehingga sistem kekebalan tubuh terus melawan tanpa batas waktu. Hal ini dapat memicu timbulnya penyakit, termasuk depresi. (*)

Sumber:
* Medical News Today (2020)
* Psych Central (2022)
Foto:
Freepik

 

 

Sahabat Lansia, situs dunialansia.com bukan merupakan praktik konsultasi medis, diagnosis, ataupun pengobatan. Informasi di situs ini tidak boleh digunakan sebagai pengganti konsultasi atau saran medis profesional. Bila Sahabat Lansia memiliki masalah kesehatan atau penyakit tertentu atau kebutuhan medis yang spesifik, konsultasikan dengan tenaga medis atau tenaga kesehatan profesional.
Yuk, berbagi artikel ini agar manfaatnya dirasakan oleh banyak orang.