APA YANG TERJADI KETIKA TUBUH KEKURANGAN PROTEIN? KETAHUI GEJALA DAN RISIKO KEKURANGAN PROTEIN (1)

APA YANG TERJADI KETIKA TUBUH KEKURANGAN PROTEIN? KETAHUI GEJALA DAN RISIKO KEKURANGAN PROTEIN (1)

Gejala kekurangan protein dapat mulai terjadi bahkan ketika kekurangan protein hanya sedikit. Ketahui gejala dan risiko kekurangan protein.

Dunialansia.com – Sahabat Lansia, kekurangan protein terjadi ketika asupan protein tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh. Apa yang terjadi jika tubuh kekurangan protein? Ketahui gejala dan risiko kekurangan protein.

Protein merupakan salah satu zat pembangun utama tubuh. Protein berperan penting dalam struktur dan fungsi otot, kulit, enzim, dan hormon. Kekurangan protein dapat memengaruhi hampir semua aspek fungsi tubuh dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan.

Bentuk kekurangan protein yang paling parah dikenal sebagai kwashiorkor. Hal ini paling sering terjadi pada anak-anak di negara berkembang karena di sana lebih sering terjadi malnutrisi dan diet yang tidak seimbang.

Gejala kekurangan protein dapat mulai terjadi bahkan ketika kekurangan protein hanya sedikit. Apa saja? Berikut ini sejumlah gejala dan risiko kekurangan protein.

# Edema

Edema adalah suatu kondisi yang ditandai dengan kulit yang bengkak dan menggelembung, terutama di perut, tungkai, telapak kaki, dan tangan. Ini adalah gejala klasik kwashiorkor.

Para peneliti menduga penyebabnya adalah rendahnya jumlah albumin serum manusia, merupakan protein paling melimpah dalam bagian cairan darah atau plasma darah.

Salah satu fungsi utama albumin adalah mempertahankan tekanan onkotik—kekuatan yang menarik cairan ke dalam sirkulasi darah. Dengan begitu, albumin mencegah jumlah cairan yang berlebihan menumpuk di jaringan atau kompartemen tubuh lainnya.

Berkurangnya kadar albumin serum manusia menyebabkan kekurangan protein yang parah. Akibatnya, tekanan onkotik jadi lebih rendah sehingga cairan terakumulasi dalam jaringan dan menyebabkan pembengkakan.

Edema/pembengkakan sebagai gejala defisiensi protein yang parah umumnya tidak terjadi di negara maju. Selain itu, banyak hal yang dapat menyebabkan edema. Jadi, pastikan untuk berkonsultasi dengan dokter jika kondisinya lebih serius.

# Fatty Liver

Gejala lain dari kwashiorkor adalah fatty liver atau perlemakan hati, yaitu penumpukan lemak di dalam sel hati.

Kekurangan protein telah dikaitkan dengan penyakit hati berlemak di negara-negara berkembang. Kondisi ini dapat menyebabkan peradangan, jaringan parut pada hati, dan kemungkinan gagal hati.

# Nafsu Makan Meningkat

Yang satu ini mungkin tampak jelas. Kekurangan protein membuat kita jadi “kelaparan”.

Ya, protein memainkan peran kunci dalam pemeliharaan nafsu makan dan asupan kalori total. Bersama dengan karbohidrat dan lemak, protein merupakan sumber kalori.

Jika tubuh tidak mengonsumsi cukup protein, tubuh akan berusaha memulihkan status proteinnya dengan meningkatkan nafsu makan dan mendorong untuk mencari makanan.

Hal ini dapat menyebabkan kita mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat dan lemak untuk mengimbangi kekurangan protein—dikenal sebagai hipotesis pengungkit protein.

Namun, makanan tinggi karbohidrat dan lemak tidak mengenyangkan seperti makanan berprotein tinggi. Seiring waktu, hal ini dapat menyebabkan kita mengonsumsi terlalu banyak kalori, sehingga berakibat pada kenaikan berat badan yang tidak diinginkan dan obesitas.

Jika merasa lapar, sebaiknya menambahkan makanan berprotein tinggi ke dalam menu makanan kita. Penelitian menemukan, mengonsumsi makanan yang mengandung protein membantu seseorang merasa lebih kenyang sepanjang hari.

# Masalah Kulit, Rambut, dan Kuku

Kekurangan protein dapat dikaitkan dengan perubahan pada kulit, rambut, dan kuku, yang sebagian besar terbuat dari protein.

Misalnya, kekurangan protein dapat memengaruhi pertumbuhan dan struktur rambut, yang dapat menyebabkan kondisi kerontokan rambut—dikenal sebagai telogen effluvium.

Kwashiorkor pada anak-anak juga dibedakan dengan kulit yang bersisik atau pecah-pecah, kemerahan, dan bercak-bercak kulit yang mengalami depigmentasi.

Namun, gejala-gejala ini tidak mungkin muncul kecuali seseorang mengalami kekurangan protein yang parah.

Selain itu, pola makan bukan satu-satunya kemungkinan penyebab terhadinya masalah pada kulit, rambut, dan kuku. Konsultasikan ke dokter, ya.

 

Cedera yang Penyembuhannya Lambat

Orang yang kekurangan protein sering kali mendapati luka dan lecet mereka butuh waktu lebih lama untuk sembuh. Hal yang sama tampaknya berlaku untuk terkilir dan kecelakaan lain yang berhubungan dengan olahraga. Ini bisa jadi efek lain dari tubuh yang tidak memproduksi kolagen dalam jumlah cukup. Kolagen ditemukan di jaringan ikat dan juga kulit. Untuk membuat darah membeku, kita juga membutuhkan protein.

 

Sahabat Lansia, kecukupan protein sangat penting berapa pun usia kita. Jumlah protein yang perlu kita konsumsi per hari dapat bergantung pada beberapa faktor, seperti usia, tingkat aktivitas fisik, dan tujuan kebugaran.

Pedoman Diet untuk Orang Amerika 2020 hingga 2025 merekomendasikan wanita dewasa mengonsumsi protein 46 gram dan pria dewasa 52—56 gram setiap hari. Secara rata-rata, ini setara dengan 0,8 gram per kilogram berat badan.

Namun, penelitian menunjukkan, jumlah tersebut adalah kebutuhan minimum untuk mencegah kehilangan otot dan kondisi kronis.

Jika ingin mencoba menambah massa otot, International Society of Sports Nutrition merekomendasikan mengonsumsi 1,4—2 gram per kilogram berat badan. Orang yang melakukan latihan ketahanan juga dapat memperoleh manfaat dari mengonsumsi hingga 3 gram per kg berat badan.

Apa yang terjadi jika tubuh kekurangan protein? Ketahui gejala dan risiko kekurangan protein selanjutnya di sini. (*)

 

Sumber: Healthline (25/6/2024); WebMD (2/12/2022)
Foto: Freepik

 

 

Sahabat Lansia, situs dunialansia.com bukan merupakan praktik konsultasi medis, diagnosis, ataupun pengobatan. Informasi di situs ini tidak boleh digunakan sebagai pengganti konsultasi atau saran medis profesional. Bila Sahabat Lansia memiliki masalah kesehatan atau penyakit tertentu atau kebutuhan medis yang spesifik, konsultasikan dengan tenaga medis atau tenaga kesehatan profesional.
Yuk, berbagi artikel ini agar manfaatnya dirasakan oleh banyak orang.