Fenomena kematian pasutri yang terjadi secara berurutan disebut widowhood effect. Pria lebih mungkin meninggal setelah kematian pasangannya.
Dunialansia.com – Sahabat Lansia, kita semua pasti pernah mendengar atau membaca berita tentang pasutri (pasangan suami istri) lansia yang ketika salah satu meninggal, tak lama kemudian pasangannya pun menyusul. Entah dalam hitungan bulan, minggu, hari, bahkan jam atau menit.
Fenomena kematian pasutri yang terjadi secara berurutan disebut widowhood effect. Lansia yang berduka atas kematian pasangannya memiliki risiko kematian lebih tinggi daripada mereka yang pasangannya masih hidup.
Sebuah penelitian (2013) menunjukkan, orang mengalami peningkatan risiko kematian sebesar 66% dalam 90 hari pertama setelah kehilangan pasangannya. Hasil penelitian ini berlaku bagi pria dan wanita.
Penelitian sebelumnya (2008) juga menunjukkan, pasangan yang masih hidup mempunyai peningkatan risiko kematian sebesar 30—90% dalam tiga bulan pertama setelah kematian pasangannya.
Studi baru tentang perbedaan gender dalam widowhood effect.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah PLOS ONE menyelidiki widowhood effect mungkin dipengaruhi oleh jenis kelamin biologis pasangan yang masih hidup (Katsiferis et al., 2023). Penelitian ini dipimpin oleh ilmuwan Alexandros Katsiferis dari Universitas Kopenhagen di Denmark.
Tim peneliti menganalisis data dari penelitian besar di Denmark terhadap lebih dari 900 ribu orang yang berusia di atas 65. Para ilmuwan melihat jumlah uang yang dihabiskan untuk perawatan kesehatan oleh orang-orang yang mengalami kehilangan pasangan dan jumlah yang dihabiskan oleh orang-orang yang tidak.
Hal itu dilakukan untuk menilai, apakah kehilangan pasangan berkaitan dengan peningkatan masalah kesehatan. Para peneliti juga menganalisis, apakah orang yang mengalami kehilangan pasangan berisiko lebih tinggi untuk meninggal daripada orang yang tidak kehilangan pasangannya.
Pria lebih mungkin meninggal setelah kematian pasangannya.
Secara keseluruhan, sekitar 8,4% orang dalam penelitian ini mengalami kehilangan pasangan. Sekitar 65,8% dari mereka yang kehilangan pasangan ini adalah perempuan. Hal ini mencerminkan, rata-rata pria meninggal lebih awal daripada wanita.
Untuk biaya perawatan kesehatan, ada perbedaan yang jelas antara pria dan wanita. Pria yang kehilangan pasangannya menghabiskan rata-rata 42 Euro per minggu lebih banyak, sedangkan peningkatan pada perempuan hanya 35 Euro. Hal ini menunjukkan, laki-laki mengalami lebih banyak masalah kesehatan setelah kematian pasangannya daripada perempuan.
Perbedaan antara pria dan wanita juga terlihat dalam hal kemungkinan meninggal setelah kematian pasangannya, tetapi usia juga berpengaruh.
Para ilmuwan menemukan, di antara mereka yang berusia 65—69, pria berisiko 70% lebih tinggi untuk meninggal pada tahun pertama setelah kematian pasangannya. Untuk perempuan pada kelompok umur yang sama, peningkatannya jauh lebih rendah, hanya 27%.
Pola umum laki-laki yang berisiko lebih tinggi untuk meninggal setelah kematian pasangannya tetap sama pada semua kelompok usia lain dalam penelitian ini (70—74, 75—79, 80—84, dan lebih tua dari 85 tahun). Namun, secara keseluruhan persentasenya menjadi lebih rendah seiring bertambahnya usia.
Perempuan memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap stres.
Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan, pria usia 65—69 adalah kelompok yang paling terpengaruh oleh widowhood effect ini. Menariknya, analisis efek waktu memperlihatkan, laki-laki juga menunjukkan peningkatan kemungkinan meninggal setelah pasangannya meninggal lebih lama.
Para ilmuwan berpendapat, hal ini mencerminkan peningkatan masalah pada pria yang kembali ke keadaan normal dan berfungsi setelah mengalami kehilangan pasangannya. Wanita tampaknya menunjukkan ketahanan yang lebih tinggi terhadap stres dalam situasi tersebut dan mekanisme penanggulangan psikologis yang lebih baik untuk kembali ke kehidupan normal.
Temuan ini jelas menunjukkan, pria (dan wanita) yang mengalami kehilangan pasangannya harus mencari bantuan dan dukungan dari keluarga, teman, atau terapis untuk mengatasi stres dan kesedihannya, bukan malah “bertahan.” (*)
Sumber:
NCOA
Psychology Today
Foto:
Freepik