Beragam mitos terkait epilepsi masih bertebaran di masyarakat, yang akhirnya berdampak negatif bagi penderita epilepsi. Ketahui apa saja mitos tersebut dan bagaimana faktanya.
Dunialansia.com – Sahabat Lansia, tanggal 12 Februari kemarin adalah Hari Epilepsi Internasional. Salah satu tujuan memperingati Hari Epilepsi Internasional adalah untuk meningkatkan kesadaran dan mengedukasi masyarakat umum mengenai fakta-fakta epilepsi.
Epilepsi merupakan penyakit kronis pada otak yang dapat menyerang orang di seluruh dunia. Di Indonesia, epilepsi dikenal sebagai ayan atau sawan. Banyak orang masih mempunyai persepsi yang keliru tentang epilepsi. Itu sebab, beragam mitos terkait epilepsi masih saja bertebaran di masyarakat dunia, yang akhirnya berdampak negatif bagi orang dengan epilepsi (ODE).
Berikut ini mitos-mitos tentang epilepsi yang berkembang di masyarakat dan faktanya.
1. Epilepsi adalah penyakit kutukan atau kerasukan.
Di Indonesia, epilepsi dianggap sebagai gangguan yang bersifat mistik. Masyarakat menganggap epilepsi bukanlah penyakit; epilepsi terjadi karena masuknya roh jahat, kesurupan, guna-guna atau suatu kutukan.
Boleh jadi, anggapan ini muncul lantaran dahulu kala epilepsi dikaitkan dengan hal-hal yang mistis. Orang Yunani Kuno menganggap epilepsi sebagai polusi atau racun atau udara yang bau yang menjangkiti jiwa seseorang. Mereka juga menganggap epilepsi sebagai kutukan bagi pendosa.
FAKTANYA: Epilepsi merupakan penyakit kronis pada otak. Epilepsi terjadi akibat aktivitas listrik di otak yang abnormal dan berlebihan. Tidak semua epilepsi diketahui penyebabnya.
Umumnya, epilepsi dapat disebabkan oleh:
- Kerusakan struktur otak (seperti stroke, cedera kepala, tumor otak, dll.)
- Kelainan genetik (akibat mutasi pada gen).
- Infeksi otak.
- Gangguan metabolik di tubuh.
- Gangguan imunitas (kekebalan tubuh).
2. Epilepsi adalah penyakit mental.
Epilepsi dan kejang bisa disalahartikan sebagai penyakit mental. Anggapan ini muncul karena ODE mungkin mengeluarkan suara-suara yang dianggap tidak biasa, menggunakan kata-kata yang aneh dan/atau berperilaku aneh saat mengalami kejang.
FAKTANYA: Seperti orang lain pada umumnya, beberapa ODE dapat saja mengalami kondisi kesehatan mental, seperti depresi dan/atau kecemasan. Akan tetapi, epilepsi itu sendiri bukanlah penyakit mental.
3. Epilepsi dapat menular.
Epilepsi yang berkembang di tengah masyarakat ditandai dengan kejang-kejang yang tiba-tiba serta mengeluarkan air liur berwarna putih, seperti busa, terjadi di tempat umum, dan disaksikan oleh banyak orang. Namun, banyak orang tidak berani menolongnya lantaran menganggap busa tersebut dapat menularkan epilepsinya.
FAKTANYA: Penyakit epilepsi TIDAK menular dan setiap orang memiliki kelenjar air liur di dalam mulutnya. Jika ODE mengalami kejang dan kelenjar liur di dalam mulutnya sedang penuh, maka kejang yang dialaminya akan mendorong isi kelenjar liur ke luar mulut dalam bentuk busa. Hal yang sama terjadi jika kandung kemih ODE dalam keadaan terisi. Kejang yang dialaminya akan mendorong isi kandung kemih keluar sehingga menyebabkan ODE mengompol. Jadi, tak ada kaitannya antara air liur dengan penularan epilepsi dan epilepsi memang BUKAN penyakit menular.
4. Epilepsi adalah kondisi seumur hidup.
Mitos ini muncul karena adanya anggapan bahwa epilepsi merupakan penyakit mistis dan tidak dapat diobati secara medis.
FAKTANYA: Epilepsi dapat diobati dan terkontrol dengan “meminum obat secara teratur dan rutin setiap hari”. Umumnya, ODE harus meminum obat epilepsi sampai serangan epilepsi tidak muncul lagi. Obat juga tetap diminum hingga 3—5 tahun ke depannya, meskipun sudah tidak ada lagi serangan epilepsinya. Setelah itu, obat akan diberhentikan secara bertahap dalam 3—6 bulan.
Namun, ada jenis epilepsi yang membutuhkan obat seumur hidup atau bahkan tindakan operatif untuk mengontrol bangkitannya. Selain itu, penderitanya juga harus menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan kambuhnya epilepsi, seperti: demam, lapar, kurang tidur, lelah, dan stres. Dengan pengobatan yang teratur dan rutin, serta menghindari pencetus serangan, maka epilepsi dapat terkontrol.
5. ODE memiliki keterbatasan dalam segala hal.
Orang dengan epilepsi (ODE) dianggap memiliki keterbatasan dalam segala hal, seperti pendidikan, pekerjaan, dan olahraga, sehingga tidak dapat hidup normal dan bermasyarakat. ODE juga tidak dapat mengemudi.
FAKTANYA: Jika serangan tidak muncul lagi (dengan meminum obat epilepsi yang teratur dan rutin), maka ODE dapat hidup normal, dapat sekolah, dan bekerja.
ODE dapat bekerja. Kecuali pada saat awal pengobatan, ketika serangan epilepsi masih muncul, maka tidak boleh melakukan pekerjaan yang berbahaya, seperti memanjat di ketinggian, mengendarai mobil, dll.
Berkaitan dengan mengemudi, ODE dapat memperoleh SIM jika kejangnya dapat dikendalikan dengan baik melalui pengobatan, atau jika ODE memenuhi pedoman yang ditetapkan oleh otoritas mengemudi yang relevan di negaranya.
ODE juga dapat berolahraga, tetapi tidak boleh yang berbahaya, seperti panjat tebing. Untuk olahraga renang, boleh dilakukan jika serangan epilepsi sudah tidak muncul dan dengan pengawasan.
Intinya, ODE dapat hidup di masyarakat sebagaimana biasa, bila diobati dengan benar dan bebas serangan epilepsi.
Sumber:
Epilepsy Foundation
Yankes Kemenkes
Foto:
Freepik