Lebih dari 90% kasus sindrom patah hati dilaporkan terjadi pada wanita, terutama setelah menopause. Siapa lagi yang berisiko terkena sindrom ini?
Dunialansia.com – Sahabat Lansia, sindrom patah hati bukanlah sekadar istilah puitis. Ini adalah kondisi medis nyata yang menyerang jantung dan bisa mengancam jiwa. Yuk, kenali lebih dekat.
Sindrom patah hati terjadi ketika sebagian otot jantung melemah secara tiba-tiba, terutama pada ventrikel kiri—ruang pemompa utama jantung.
Otot jantung yang melemah dapat mengganggu suplai darah dan mengurangi kemampuannya memompa darah ke seluruh tubuh. Kondisi ini membahayakan karena setiap sel tubuh bergantung pada suplai oksigen yang dibawa oleh darah.
Secara medis, broken heart syndrome atau sindrom patah hati dikenal sebagai kardiomiopati takotsubo, pertama kali dijelaskan di Jepang pada 1990.
WANITA LEBIH RENTAN MENGALAMI SINDROM PATAH HATI
Sindrom patah hati sering kali tidak terdeteksi. Diperkirakan, kondisi ini terjadi pada sekitar 2% kasus yang awalnya diduga serangan jantung. Namun, para peneliti yakin jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi karena sering kali dokter tidak mengenali kondisi ini.
Menariknya, lebih dari 90% kasus dilaporkan terjadi pada wanita, terutama setelah menopause (usia 58—77). Penurunan hormon estrogen—yang berperan melindungi jantung dari efek stres—bisa menjadi salah satu penyebabnya.
Penelitian menunjukkan, hingga 5% wanita yang diduga mengalami serangan jantung ternyata mengalami sindrom patah hati. Jadi, bukan serangan jantung sebenarnya!
Selain perempuan berusia di atas 50, risiko sindrom ini juga meningkat pada mereka yang memiliki riwayat gangguan kejiwaan (seperti kecemasan atau depresi) dan mengalami kelainan neurologis (seperti kejang atau stroke).
Bagaimana dengan faktor genetik? Hingga kini, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa sindrom patah hati dapat diwariskan dari orangtua kepada anak.
KENALI, WASPADAI, DAN ATASI
Sebagian besar orang yang mengalami sindrom patah hati dapat pulih sepenuhnya. Namun, ada pula yang mengalami kerusakan jantung jangka panjang.
Karena itu, sangat penting untuk mengenali gejala dan pencetus sindrom ini sedini mungkin agar bisa mendapatkan penanganan yang tepat.
Simak artikel berikutnya untuk mengetahui gejala dan penyebabnya. (*)
Sumber:
Cleveland Clinic, Harvard Health
Foto:
Freepik

Dibangun oleh sejumlah orang muda dan calon lansia. Melalui dunialansia.com, kami mengajak seluruh orang muda untuk peduli lansia, sekaligus mempersiapkan diri menjadi lansia yang SMART (Sehat, Mandiri, Aktif, Rajin, Taat).




