Meski kelompok usia lanjut lebih sering terkena stroke, stroke sebenarnya bisa terjadi pada siapa saja di usia berapa pun. Memahami faktor risikonya dapat membantu mencegah terkena stroke.
Dunialansia.com – Sobat Muda Peduli Lansia, stroke masih menjadi penyebab disabilitas nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia setelah penyakit jantung, baik di negara maju maupun berkembang.
Stroke tidak memandang usia. Meski kelompok usia lanjut lebih sering terkena stroke, stroke sebenarnya bisa terjadi pada siapa saja di usia berapa pun. Memahami faktor risikonya dapat membantu mencegah terkena stroke.
Memang, ada faktor risiko yang tidak dapat dikontrol atau diubah, seperti usia, jenis kelamin, ras tertentu, dan genetik. Namun, tak sedikit faktor risiko yang dapat diatasi, seperti masalah kesehatan dan gaya hidup tak sehat.
FAKTOR RISIKO YANG TIDAK DAPAT DIKONTROL
1. Usia
Kemungkinan terkena stroke meningkat seiring bertambahnya usia. Meski stroke lebih sering terjadi pada lansia, banyak orang di bawah 65 tahun juga menderita stroke. Bahkan bayi dan anak-anak pun bisa terserang stroke.
2. Sejarah Keluarga
Jika orangtua, kakek-nenek, saudara perempuan atau laki-laki pernah menderita stroke, terutama sebelum usia 65, seseorang berisiko lebih besar terkena stroke. Terkadang stroke juga disebabkan oleh kelainan genetik seperti CADASIL. Kelainan bawaan ini dapat menghambat aliran darah di otak.
3. Ras
Orang berkulit hitam memiliki risiko kematian akibat stroke yang jauh lebih tinggi dibandingkan orang kulit putih. Karena hambatan dan sistem sosial yang telah merugikan kesehatan mereka selama beberapa dekade, orang kulit hitam berisiko lebih tinggi terkena tekanan darah tinggi, diabetes, dan obesitas.
4. Jenis Kelamin
Risiko stroke meningkat seiring bertambahnya usia. Perempuan umumnya hidup lebih lama daripada laki-laki, sehingga lebih banyak perempuan yang menderita stroke.
Ada sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko stroke pada wanita, antara lain: kehamilan; riwayat preeklamsia/eklamsia; riwayat diabetes gestasional; penggunaan kontrasepsi oral (terutama bila wanita juga merokok); terapi hormon pasca-menopause; dan perubahan status hormonal.
Beberapa faktor stroke yang tampaknya lebih kuat atau lebih sering terjadi pada wanita: migren dengan aura; fibrilasi atrium (gangguan irama jantung); diabetes; hipertensi; depresi; dan stres psikososial.
Migren dengan Aura
American Migraine Foundation menjelaskan, aura merupakan rangkaian gangguan sensorik atau gangguan berbahasa yang biasanya terjadi sesaat sebelum serangan migren.
Orang yang berada dalam fase aura migren mengalami berbagai gejala. Biasanya gejala berlangsung 5—60 menit dan gejala spesifik aura sering berubah/berkembang selama waktu tersebut. Gejalanya antara lain:
- Gangguan Penglihatan – Melihat bintik-bintik, kilatan cahaya, zig zag, bintang, atau bahkan kehilangan penglihatan dalam waktu singkat. (Dari mereka yang mengalami migrain dengan aura, sekitar 90% akan mengalami aura visual.)
- Perubahan Sensorik – Merasa kesemutan atau mati rasa pada wajah, badan, tangan, dan jari.
- Masalah Bicara atau Bahasa – Tidak dapat menghasilkan kata-kata yang tepat, kata-kata yang tidak jelas atau bergumam.
Tidak setiap penderita migren akan mengalami migren dengan aura dan umumnya tidak terjadi pada setiap serangan migren.
Periksakan ke dokter bila mengalami gejala migren dengan aura. Wanita yang mengalami migren dengan aura mungkin berisiko lebih tinggi terkena stroke. Oleh karena itu, penting untuk mendiskusikan dengan dokter tentang faktor risiko stroke lainnya dan cara meminimalkan risiko stroke. (*)
Sumber:
American Stroke Association
Foto:
Freepik.com