Kaget, sedih, dan miris bercampur aduk saat membaca tulisan itu. Apa jadinya kalau kebanyakan orang berpikiran seperti itu?
Dunialansia.com – Sobat Muda Peduli Lansia, saya baru saja sembuh dari C19. Ini kali kedua saya terkena C19. Yang pertama, tahun lalu, saya kena C19 jelang akhir Juni dan tahun ini saya kena lagi di pertengahan Juli.
Selain lapor kepada satgas C19 dan RT di lingkungan, saya pun memberitahukan kepada sejumlah teman dan kenalan, terutama mereka yang sempat kontak erat dengan saya beberapa hari sebelumnya. Nah, salah satu respons yang bikin saya kaget, sedih, dan miris adalah jawaban seorang kenalan, “Bukannya Covid sudah enggak ada, ya?”
Duh, Gusti!
Saya jadi berpikir, jangan-jangan banyak orang juga berpikiran seperti itu bahwa C19 sudah tidak ada lagi. Saking syoknya dengan jawaban sang kenalan, saya sampai googling berita C19 yang akhirnya malah membuat kepala saya tambah nyut-nyutan.
COVID-19 MASIH MENGANCAM
Mengutip pemberitaan https://covid19.go.id pada Senin, 1 Agustus 2022, perkembangan kasus harian Covid-19 di Indonesia terkonfirmasi hingga 1 Agustus 2022 mengalami penambahan sebanyak 3.696 kasus. DKI Jakarta menjadi penyumbang terbesar dalam kasus terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 1.486 kasus.
Sebelumnya, pada akhir Juli 2022 dikatakan bahwa kasus terkonfirmasi C19 naik hingga tiga kali lipat, dari sekitar 2.000 kasus di awal bulan menjadi hingga lebih 6.000 kasus di akhir bulan. Total kasus aktif mencapai 46.000 dan rata-rata kasus positif mingguan nasional mencapai 6,07 persen dalam tiga minggu berturut-turut. Angka ini berada di atas ambang batas yang ditetapkan WHO, yaitu sebesar 5 persen.
Dari data tersebut jelaslah bahwa sampai saat ini, kasus C19 di negeri kita masih mengalami penambahan. Itulah mengapa, kita perlu mewaspadainya, bukan malah menganggap C19 sudah tidak ada lagi.
APA PUN VARIANNYA, KENALI GEJALANYA
Seorang teman bertanya, “Kamu kena Covid varian apa?” Waduh! Saya tidak bisa menjawabnya. Pemeriksaan rapid antigen hanya mengatakan “positif” untuk hasilnya. Begitu pun dengan tes PCR, tanpa menyebutkan jenis varian Covidnya.
Menurut saya, apa pun variannya, yang terpenting adalah kenali gejala C19 ini.
Buat saya yang alergi dingin, hanya dengan minum air es saja sudah bisa membuat saya batuk pilek. Begitu pun kalau makan gorengan dan sambal, tak lama kemudian akan berasa tak nyaman di tenggorokan. Udara dingin, entah lantaran AC ataupun hujan, akan segera membuat saya bersin-bersin sepanjang hari dan meler.
Obat antialergi (yang memang sudah diresepkan dokter, tentunya) akan saya minum kalau saya sudah tak tahan lagi. Bayangkan saja, sebentar-sebentar bersin bikin kepala ikut sakit. Setelah obat bekerja, biasanya gejala akan berkurang dan akhirnya hilang.
Nah, saat gejala yang saya alami tidak berkurang meski sudah minum obat antialergi, mulai timbul kecurigaan. Apalagi disertai demam pula, meski hanya 37,5 derajat Celsius; karena biasanya kalau alergi, saya tidak pernah mengalami kenaikan suhu tubuh.
Sejujurnya, meski telah beberapa kali membaca tentang gejala C19, namun saya sama sekali tidak ingat gejala C19 sesuai variannya. Yang teringat oleh saya hanya batuk pilek, sakit tenggorokan, dan demam.
Karena saya memiliki semua gejala itu—ditambah ada komorbid autoimun dan jelang lansia pula—akhirnya pada hari ketiga, setelah sempat ngobrol dengan seorang saudara dan sahabat, saya pun pergi ke klinik 24 jam untuk melakukan tes antigen. Persis seperti umumnya instruksi di kemasan obat apa pun, “Jika tiga hari belum sembuh, segera ke dokter” atau “Jika gejala berlanjut, hubungi dokter”.
Hasilnya? Sesuai kecurigaan: positif! Saya lanjut dengan tes PCR yang hasilnya keluar 24 jam kemudian, juga positif. Isomanlah saya selama 10 hari sesuai instruksi dari aplikasi PeduliLindungi, ditambah empat hari seperti yang diinfokan oleh Bu Satgas C19 di lingkungan.
(Tahun lalu, selain batuk pilek dan demam, saya sempat kedinginan jelang malam sampai pakai kaus kaki. Saya ingat hari itu Kamis, sementara gejala dimulai Senin. Kemudian, Jumat-nya mulai merasa anosmia tapi belum yakin betul karena hidung tersumbat. Akhirnya Sabtu pagi lapor satgas karena masih bergejala dan ada komorbid pula, lalu sorenya tes antigen, deh.)
KOK, BISA KENA COVID?
Nah, ini lagi satu pertanyaan yang tidak bisa saya jawab. Tahun lalu malah banyak yang heran ketika saya terkena C19. Pasalnya, saya di rumah saja sejak terdeteksi adanya pasien C19 di negeri kita tercinta ini. Saya sungguh tidak berani keluar rumah. Takut banget!
Jadi, sehari-hari saya di rumah saja. Untuk belanja keperluan harian, saya pesan lewat WA ke tukang sayur, nanti diantar ke rumah. Setiap hendak bertemu kurir, saya selalu pakai masker. Bahkan, hanya untuk menyapu teras dan mengurus tanaman, saya tetap memakai masker. Nenangga pun tidak. Ternyata, saya kena C19 juga!
Bagaimana dengan tahun ini? Saya juga tidak punya jawaban atas pertanyaan, “Kok, kamu bisa kena Covid?” Sekalipun sejak Mei 2022 saya harus lebih sering bolak-balik RS. Selain untuk kontrol ke dokter, juga untuk menjalani fisioterapi lantaran HNP (Hernia Nucleus Pulposus alias saraf terjepit) di leher.
Tidak bijak rasanya kalau saya berkata, “Karena sering bolak-balik RS dan sekali ke RS bisa dari pagi sampai sore, makanya saya jadi tertular Covid.” Tidak bijak juga kalau ada yang mengatakan, karena saya buka masker di RS untuk makan dan minum obat.
Intinya, siapa, sih, yang mau sakit? Entah sakit Covid atau sakit lainnya. Tidak ada. Semua orang pasti ingin sehat. Jadi, kalau seseorang sampai terkena C19—apalagi dia juga sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mematuhi prokes—tak perlulah dicari-cari penyebabnya. Jangan menambahkan beban si sakit, yang bisa membuatnya stres dan berakibat sakitnya jadi parah.
Justru yang lebih penting adalah segera lakukan tes antigen/PCR dan isoman begitu muncul kecurigaan terkena C19. Selanjutnya, segera hubungi orang-orang yang melakukan kontak erat dengan kita beberapa hari sebelumnya. Itulah yang saya lakukan. Puji Tuhan, dari semua yang saya hubungi, tidak ada yang terkena C19.
WASPADA DAN BERSERAH
Bagaimanapun kita harus beradaptasi dengan kondisi sekarang. Sudah lebih dari dua tahun, namun pandemi C19 belum juga berlalu. Malah, muncul varian-varian baru dengan aneka ragam gejala yang bahkan bisa berbeda pada tiap orang. Simak saja berita-berita online seputar C19, kita pasti akan menemukan banyak berita yang berkaitan dengan gejala C19 berdasarkan variannya.
Tentu kita perlu waspada, terlebih-lebih bagi mereka yang rentan, seperti mereka yang memiliki komorbid dan orang berusia lanjut alias lansia. Namun, waspada bukan berarti takut berlebihan, seperti yang saya alami di awal-awal pandemi sampai tidak berani keluar rumah sama sekali ataupun bertemu dengan orang, selain orang-orang yang tinggal serumah.
Bagaimanapun kita harus beradaptasi dengan kebiasaan baru ini. Antara lain dengan mematuhi prokes, yaitu memakai masker (baik di dalam maupun di luar ruangan) dengan benar; rajin mencuci tangan pakai sabun di bawah air yang mengalir (atau gunakan hand sanitizer kala berada di tempat yang tidak ada akses untuk mencuci tangan); menjaga jarak; membatasi mobilitas; dan menghindari kerumunan.
Kalau kita sudah melakukan semua itu, ternyata masih kena juga, apa boleh buat. Yang pertama dan penting dilakukan bukanlah mencari jawaban atas pertanyaan, “Kenapa, kok, saya bisa kena Covid, ya?”, melainkan berserah kepada Sang Khalik. Pasti ada hikmah di balik sakit yang kita derita.
Selanjutnya, lakukan isoman, hubungi orang-orang yang kontak erat dengan kita sejak seminggu sebelum kita melakukan tes antigen/PCR, lapor satgas dan RT setempat, serta mengupayakan pengobatan terbaik agar segera sembuh dan sehat kembali.
Tetap semangat, segera sembuh, dan sehat selalu. Amin 🙏
Foto:
www.freepik.com